Belanja pakaian sebulan sekali? Ok.
Belanja merk papan atas? Ok.
Makan mahal di Mall tiap hari? Ok.
Serius, itu ada yang salah sama kamu jika merasa apa yang kamu beli itu murah. Makan di mall dengan harga 50ribu dimana dengan menu yang sama, lebih enak dan lebih banyak di warung pinggiran seharga 20ribu lalu terasa biasa aja, I swear that's something wrong with us. Kecuali nih ya, kalo emang itu sekali dua kali dalam sebulan. Tapi kalau keterusan? Ditambah tanpa ada beban sama sekali, waaaaw, RICH PEOPLEEE! (dalem hati: Amiiin).
Belanja merk papan atas? Ok.
Makan mahal di Mall tiap hari? Ok.
Serius, itu ada yang salah sama kamu jika merasa apa yang kamu beli itu murah. Makan di mall dengan harga 50ribu dimana dengan menu yang sama, lebih enak dan lebih banyak di warung pinggiran seharga 20ribu lalu terasa biasa aja, I swear that's something wrong with us. Kecuali nih ya, kalo emang itu sekali dua kali dalam sebulan. Tapi kalau keterusan? Ditambah tanpa ada beban sama sekali, waaaaw, RICH PEOPLEEE! (dalem hati: Amiiin).
Penyebab ingin menulis ini gegara temanku yang chat dan sedih banget harus makan bareng di sebuah mall dengan level kemahalan tingkat ke dua di restoran itu. Ini nih, sifat yang jarang banget aku temuin buat anak-anak sosial. Haha. Saat itu pula, aku ke-flashback ingatan ketika masih sekolah dasar di sebuah perkampungan di Malang. Bisa dibilang, aku dulu itu orang yang gatau apa apa soal produk baru atau sesuatu yang sifatnya hiburan. Makanya kalau sekarang di tahun 2017 ini ada temen-temenku yang bilang "lo itu kan dulu mainan ini, itu kan aku pernah punya, dan lain lain", jujur aku gatau itu apa. Bahkan 'tamagochi' permainan se hits itu aku dulu ga punya. Kenangan masa kecil ku kayaknya kurang banyak. Huhu. Juga nih, aku terbiasa dengan menggunakan barang yang dibelikan orang tua ku dan aku pakai terus menerus hingga rusak. Misal, Sepatu sekolah warna hitam merk ATT, Carvil, atau HomyPed yang dibeli di pasar deket rumah. Tau sendiri kan itu harganya berapa. Aku hanya punya satu itu saja untuk aku pake ke sekolah. Aku beli lagi atau dibelikan kembali kalau sudah rusak, bener bener bolong dan ga berbentuk yang ga bisa diperbaikin lagi. Karna itu dibelikan orang tuaku, otomatis aku gatau tuh harga sepatu berapa an. Berlaku juga untuk tas, tempat pensil (tepak), baju, dan celana. Pokoknya semua barang yang bisa beli lagi kalau sudah rusak.
Selang beberapa tahun, ketika akhirnya aku masuk remaja atau SMA, aku merantau ke kota Malang. Walaupun cuma 1 jam perjalanan naik bus atau kereta, tapi kehidupan sangat berbeda sekali dengan kampungku. Aku mulai kenal dengan teman teman yang secara look, lumayan waaw lah. Disini aku mulai tau harga sepatu, harga tas, harga baju, dsb. Aku mulai tertegun ketika teman temanku membeli itu semua sewaktu waktu. "Kalau ada yang suka, ya beli". Segampang itu kah?
Oke, mereka emang dari keluarga yang bisa di bilang berkecukupan banget dan itu pun juga hak hak mereka membeli barang barang itu semua. Cuma yang aku sesali disini adalah aku ikut mengalir dengan mereka dan terbiasa dengan harga harga yang terlampir pada barang barang itu. Sekali, aku merasa menyesal membeli sebuah sepatu yang tidak sesuai dengan peraturan sekolahku. Aku masih inget merk apa. Kedua kali, aku membeli baju lengan panjang. Ketiga, Keempat, dan seterusnya aku sudah mulai tidak merasa harga harga yang terpampang itu berarti. Mindset ku sudah mulai, "Kalau ada yang suka, ya beli". Akibatnya, aku sering hemat hemat buat beli apa yang aku pengen in. Ini berangsur hingga aku kerja tahun-tahun awal di Jakarta. Kota yang lebih kota banget dari kota Malang.
Lebih ekstrimnya, teman temanku makin paham merk yang aku belum tau merk merk apa itu. Mungkin aku paham merk-merk tersebut sebab sebagai study case di kampus, karna aku mengambil jurusan Marketing. Aku mulai berfikir, "ini ga bener". Kalau aku keterusan dengan sifat seperti itu, aku takut makin memanjakan diriku dan atau paling parah jadi orang panjat sosial. Oh ya ada lagi, aku sering membatasi makan hanya karna ingin membeli sesuatu yang aku inginkan. Ya dampaknya adalah aku punya maag yang menyiksa sampai sekarang. Fix, ini menyiksa diri banget dan musti aku hindari sesegera mungkin.
Kalau dibaca lagi tulisan ini dari awal, merubah sifat sifat ini adalah tergantung dari diri sendiri. Secara logikanya, makin lama aku kerja salary juga naik harus nya aku makin enteng dong kalau misal ingin sesuatu. Tapi nyatanya, justru aku ingin menghindari hal tersebut. Apa yang membuat aku lekas sadar adalah sifat empati ku muncul. Ga jauh jauh amat sih, ga juga karna melihat akun socmed orang sakit atau orang yang terkena bencana. Yang menyadarkan aku akan dan muncul nya empatiku tak lain adalah orang tuaku sendiri.
Pikiranku melayang ketika aku makan enak di Jakarta, makan daging berkelas, beli barang bergengsi,lantas apakah orang dirumah merasakan hal yang sama. Padahal kalo aku flashback lagi, beli sepatu di pasar aja dulu bisa dihitung sekian bulan hingga setahun lebih sekali. Bisa aku simpulkan secara pribadi, orang tuaku dirumah bekerja keras hanya untuk makan sehari hari. Belanja sandang mungkin ketika lebaran idul fitri aja. Nah, begitu apa aku tega bersenang senang dengan gampangnya makan mahal atau blanja blanja disana sini. Huhuuuu. Ya walaupun itu kesimpulan ku sendiri, tetapi emang harus begitu biar aku bisa prihatin dengan kerja keras orang tuaku.
Singkat cerita, ya sejak saat itu lah, sifat sederhana ku mulai kembali lagi walau tidak sesederhana dulu.
Dampak positifnya, dalam setiap bulan aku bisa ngasi rezeki buat orang rumah, buat nabung pribadi, dan as a reward makan gaul di mall. Inget, as a reward. Jadi, ketika makan gahul, itu berarti aku sudah sukses seminggu hidup sederhana. :)
Pikiranku melayang ketika aku makan enak di Jakarta, makan daging berkelas, beli barang bergengsi,lantas apakah orang dirumah merasakan hal yang sama. Padahal kalo aku flashback lagi, beli sepatu di pasar aja dulu bisa dihitung sekian bulan hingga setahun lebih sekali. Bisa aku simpulkan secara pribadi, orang tuaku dirumah bekerja keras hanya untuk makan sehari hari. Belanja sandang mungkin ketika lebaran idul fitri aja. Nah, begitu apa aku tega bersenang senang dengan gampangnya makan mahal atau blanja blanja disana sini. Huhuuuu. Ya walaupun itu kesimpulan ku sendiri, tetapi emang harus begitu biar aku bisa prihatin dengan kerja keras orang tuaku.
Singkat cerita, ya sejak saat itu lah, sifat sederhana ku mulai kembali lagi walau tidak sesederhana dulu.
Dampak positifnya, dalam setiap bulan aku bisa ngasi rezeki buat orang rumah, buat nabung pribadi, dan as a reward makan gaul di mall. Inget, as a reward. Jadi, ketika makan gahul, itu berarti aku sudah sukses seminggu hidup sederhana. :)
Tulisan ini dipersembahkan untuk dan oleh aku. Tidak bermaksud mempengaruhi. Pengingat diri sendiri saja. Karna apapun yang kita punya nantinya akan dimintai pertanggung jawaban di hari akhir. Bahkan nih, daleman yang kita pake bakal ditanyain asal usulnya dari mana. ;)
(susi octalana)
speechless
ReplyDelete